Post di 2024


Tulisan ini mungkin adalah tulisan pertama sekaligus terakhir di blogku tahun ini.

Ah blogku yang kubeli dengan domain atas namaku, yang tiap tahun kuhidupi dan kuperpanjang sewanya, entah kenapa beberapa tahun terakhir ini aku tidak punya energi untuk menulis di sini, meski aku masih cukup produktif di Medium.

Entahlah. Mungkin karena di Medium aku merasa lebih interaktif, aku melihat orang membaca dan mendapatkan sesuatu dari tulisanku. Sementara blog ini relatif sunyi. Komunitas blogger tidak seramai jaman aku SMA dulu --yang bahkan aku jadi bisa berkawan dan mendapatkan teman di dunia nyata berkat tulisan-tulisan random di blog.

Bagaimanapun aku sudah membayar domain atas namaku dan mau tidak mau aku harus menulis. Di akhir tahun 2024 ini, aku menggunakannya untuk refleksi atas apapun yang terjadi dalam setahun terakhir.

Aku sudah lama tidak punya goal tahunan yang spesifik. Seingatku, keinginanku setiap tahun selalu sama: bisa bahagia terus.

Tahun 2024 aku rasa adalah fase 'norming' setelah tahun-tahun sebelumnya aku merasa badai bertubi-tubi datang. Aku masih punya beberapa sesi konseling dengan psikolog meski sekarang relatively stabil. Secara pribadi, di tahun ini aku merasa berkembang. Bukan hanya karena usiaku memang secara default bertambah, tetapi juga karena di tahun ini aku memulai hal-hal baru yang tidak kulakukan sebelumnya.

Di tahun ini untuk pertama kalinya aku rajin olahraga. Memang sih, cuma yoga. Tapi meski cuma yoga, aku merasa lebih fit. Aku jadi lebih sering menggunakan public transportation ke kantor menghindari kesemrawutan Kota Jakarta, menikmati setiap langkah di trotoar jelek negara yang sebentar lagi PPN-nya 12%.

Berjalan kaki (dan menggunakan transportasi umum) at some point jadi terapi sendiri, karena aku jadi belajar untuk rileks namun sekaligus memanage waktu dengan lebih baik. For some context, public transportation yang kupilih dari dan ke kantor punya jadwal spesifik yang harus diikuti karena jumlahnya terbatas --lagi-lagi karena aku tinggal di negara yang sebentar lagi PPN-nya 12%.

***

Di tahun ini, pernikahanku dengan Angga melewati tahun ketiga. Artinya lebih dari 7 tahun kami mengenal satu sama lain. Tentu saja dalam setiap dinamika hubungan, ada fase-fase yang masih sering membuatku syok dan hah-hoh, namun the way we manage the conflict udah jauh lebih baik. Akhirnya kami berdinamika sebagai pasangan yang 'lebih' dewasa and I need to somehow appreciate my husband for his continuous effort to make things better.

Angga just got his 'dream job' in one of the biggest tech companies in the world and it makes this year even wonderful than ever. After years working for global tobacco industry, now he's moving to zio**** corporation. WKWK.

Meski masih sama-sama berstatus kelas pekerja, aku realise dalam beberapa tahun ke belakang ini kehidupan kami jauh membaik, terutama dari segi ekonomi. Dan aku luar biasa bersyukur atas itu. Aku nggak pernah membayangkan sebelumnya bahwa aku bisa melunasi hutang ratusan juta, membayar biaya haji kedua orang tuaku, dan sekarang aku mensupport hidup keponakanku yang ditelantarkan bapaknya yang bajingan.

Meski dengan semua pengeluaran yang darderdor dan wasweswos itu, aku tidak merasa kekurangan. Mungkin ini kali ya, yang disebut dengan konsep rezeki. Rasa-rasanya dewasa ini aku bersyukur sekali pada Tuhan untuk semua hal yang sudah terjadi di masa lalu yang membawaku sampai di titik ini. Kayak ini cukup menggambarkan hidup yang dulu-dulu aku cuma membayangkan gimana rasanya, tapi sekarang aku tahu.

***

Selama hidup, aku adalah orang yang selalu yakin pada pilihan yang kuambil. Dan sejauh ini, pilihan-pilihan itu belum pernah mengecewakan. Satu-satunya hal yang kurasa masih gamang adalah keputusan apakah aku akan punya anak atau tidak.

Jujur setelah keponakanku lahir, keraguanku untuk punya anak meningkat beberapa level. Bukan lagi pada alasan-alasan ekonomi seperti mahalnya biaya punya anak, tapi juga ke alasan-alasan yang lebih fundamental seperti, kenapa sih aku harus melahirkan satu manusia lagi ke bumi? Apa urgensinya? Bagaimana kalau suatu hari nanti anakku menanyakan hal semendasar ini?

Meski aku mensyukuri hidupku, namun jauh di dalam pikiranku aku belum menemukan alasan kenapa orang tuaku harus melahirkan aku? Kenapa mereka harus punya anak?

Tentu sebagai orang tua yang tidak tersentuh pendidikan tinggi, mereka nggak akan memberikan jawaban yang memuaskan ketika kutanya. Yang ada aku cuma akan dapat jawaban-jawaban nonsense bahwa anak penting untuk melanjutkan keturunan, untuk menemani di hari tua, dll --hal-hal yang nggak beneficial di sisiku sebagai anak yang dilahirkan dan dituntut struggling sepanjang hidupnya.

Secara umum, aku bahagia dengan hidupku. However aku tidak bisa memastikan jika ada satu manusia lagi yang keberadaannya ada karena pilihanku, ia bisa merasakan hal serupa. Jadi sampai sekarang aku masih bingung.

Suamiku tipe orang yang pasif-agresif, dan aku pikir ia pun tidak memiliki jawaban dan alasan valid kenapa kami harus punya anak.

Pada kondisi seperti ini, aku sedikit bersyukur memiliki orang tua seperti orang tuaku, karena mereka jadi tidak punya hak sedikit pun mengatur hidupku. Semua pilihan ada di tanganku.

***

Well, secara umum kurasa tahun 2024 adalah tahun yang baik untuk melanjutkan hidup. Dan aku berharap di 2025 hal-hal baik juga akan terjadi.

Share: