Dan ada orang menjawab, "Nggak usah nonton deh. Nggak relate kamu." Lalu ia mengelaborasi ke-tidak-relate-anku dengan cerita di film itu yang digambarkan sebagai sebuah film yang menceritakan permasalahan keluarga kelas menengah di Jakarta yang orang sepertiku mungkin memang nggak relate.
Baru-baru ini ketika film itu muncul di Netflix dan aku mulai kehabisan tontonan, aku memutuskan menontonnya.. dan.. shit, beneran nggak relate ternyata.
***
Ini mungkin bukan kali pertama aku menumpahkan uneg-uneg tentang betapa aku nggak relate dengan permasalahan warga kelas menengah, terutama di Jakarta. Meski sebagian mengatakan dengan usiaku sekarang, pekerjaan, dan pergaulanku di Jakarta, aku mungkin jadi satu di antara mereka, tetep aja ada terlalu banyak hal yang aku nggak relate.
Dulu ketika aku SMA, ada seorang temanku yang cerita bahwa kakak kelas kami yang bapaknya baru ditangkap KPK suka update sedih karena puasa ini harus sahur tanpa bapaknya, lalu dia merasa kasihan. Tentu sebagai anak kost yang mau puasa atau nggak puasa makan tetep sendirian aku sama sekali nggak relate dengan perasaan kasihan itu. Apalagi dengan fakta bahwa bapaknya 'terpaksa' nggak bisa puasa di rumah karena ditangkap KPK. Who the hell can relate with these fucking people huh?
Baru-baru ini aku juga menyadari bahwa aku mengalami shock culture karena budaya mengirim parcel hampers pas lebaran.
"Kok orang-orang ini temen-temennya pada baik-baik banget ya kek bisa tiap hari ngasih-ngasih bingkisan ke temennya gitu? Ya sih cuma makanan, tapi itu mayan ga sih, harganya. Kan ga mungkin ngasih cuma ke satu orang?"
"Ya maintainnya juga mahal kali. Tapi bukannya temenmu banyak yang suka gitu, ya?"
"Iya, tapi aku kalo dikasih udah lebih dari 3, aku bungkus ulang, terus kukirim saling-silang gitu sih."
Jujur aku nggak relate dengan orang-orang yang mengirim hampers seperti beberapa orang nggak relate dengan ketabahanku yang setahun ini nggak pulang ke rumah.
***
Ketika menjadi anggota pers mahasiswa UGM, aku berkesempatan mewawancarai salah satu petinggi kampus. Saat itu, aku sempat melontarkan protes adanya iuran di luar UKT yang entah kenapa setiap semester ditagih oleh ketua angkatan di fakultas.
"UKT kita tuh udah mahal, Pak, masa masih mau ditambah iuran-iuran lagi," kataku.
Lalu dengan 'bijaknya' si Bapak menjawab, "Ya gimana, ya, Mbak? UKT ini sebenarnya kita tidak terlalu setuju juga. Wong dengan sistem sebelumnya setiap tahunnya sumbangan kita bisa jauh lebih banyak dari ini. Ya sekarang kamu bayangin, ada anak yang orang tuanya gaji 10 juta, bayar UKT sama dengan anak yang gaji orang tuanya 100 juta. Sementara di kampus kita, di angkatanmu itu, orang tua yang gajinya di atas 100 juta itu banyak jumlahnya."
Untuk beberapa detik aku harus diam mencerna jawaban si Bapak. Hmm pantesan aku sering nggak relate dengan teman-temanku, ternyata karena aku terlalu 'miskin' di kampus ini. Ckck.
***
Kepada pacarku, aku selalu bilang bahwa semua pilihan yang ia ambil ketika sekolah dan kuliah itu nggak ada cerdas-cerdasnya. Bodoh kalo boleh kubilang. Gimana enggak bodoh? Orang kalau merasa nggak punya uang ya kerja, bukan ngegeng, ngewibu, naik gunung, atau piknik.
"Kerja, ndes, kerja!"
"Iya, tapi dulu tuh aku nggak dibolehin kerja."
"Kecuali kamu akan dikasih warisan tambang batu bara atau perkebunan sawit, jangan percaya sama orang yang nyuruh kamu jangan kerja. Orang harus kerja, harus punya uang, kalo nggak cukup, ya berlebih. Nggak boleh kurang."
***
Setelah aku 25 tahun, aku baru menyadari salah satu penyebab terlalu banyak hal yang aku nggak bisa relate adalah karena aku merasa aku nggak punya banyak privilege dibanding beberapa orang di sekitarku.
Hidup ini seperti paradoks. Ketika aku berkesempatan sekolah di luar kota, aku mungkin jadi satu dari sekian orang paling berprivilege yang pernah kukenal dalam hidup. Teman-temanku tidak sedikit yang putus sekolah, menikah, melahirkan di usia muda, menggantungkan hidupnya pada laki-laki yang bekerja serabutan. Sementara, aku dapat memiliki kesempatan belajar di sekolah cukup elit, kuliah di kampus yang jadi idam-idaman dan mimpi banyak orang, bahkan di jurusan yang terkenal kehidupan makmurnya. Namun, pada titik itu juga aku menjadi orang yang paling tidak punya privilege.
Aku dulu sering berpikir, seandainya aku memiliki lebih banyak pilihan karena privilegeku, mungkin waktu SMA aku juga akan ikut program sister school di Aussie. Mungkin alih-alih kuliah di UGM, aku akan ambis untuk ikut program kuliah di Jerman atau di mana di luar negeri yang banyak diikuti teman-teman sekolahku.
Mungkin alih-alih memutuskan bekerja dan fokus membebaskan urusan finansial, aku bisa lebih fokus pada ambisi akademisku. Aku mungkin sudah menjuarai MUN, ikut banyak konferensi paper internasional karena aku suka menulis, atau mungkin ikut pertukaran mahasiswa, atau melanjutkan studi master ke luar negeri seperti yang selalu aku pikirkan sejak dulu?
Tapi itu semua kelewat karena pilihan yang aku miliki ternyata nggak sebanyak itu. Bahkan untuk mengulur-ulur waktu lulus aja aku nggak sebebas itu. Aku akhirnya lulus 9 semester setelah melewati perdebatan dan pertengkaran panjang dengan Bapak. Juga struggling yang luar biasa memaksa bekerja fulltime, mengambil project di luar kantor, sekaligus mengerjakan skripsi yang kutarget akan lolos di salah satu jurnal akademik berskala internasional.
***
Privilege itu nyata. Ia bahkan memiliki lapisan kelas dan menjelma seperti paradoks yang tadi kuceritakan. Ketika kamu melepas satu lapis ketidakberuntungan dan merasa memiliki privilege, akan ada lapisan ketidakberuntungan lain yang menunggu setelahnya. Mungkin itulah sebabnya setiap orang merasa, "Ah elah emang lo pikir karena gue punya privilege, gue jadi nggak punya masalah?"
Nah. Memang setiap orang akan menghadapi ketidakberuntungan dan masalah dalam kelasnya sendiri-sendiri. Sama seperti Angkasa bersaudara di NKCTHI, atau teman-teman kayaku di UGM atau di SMA. Mereka pasti punya masalah.
Tapi ya itu tadi, privilege 'hanya' memberi lebih banyak pilihan. Angkasa bersaudara mungkin 'sedih' dan 'kecewa' dengan sifat protektif dan kehipokritan si Ayah, tapi paling nggak, dia nggak pernah ngerasain kepikiran mesti lulus cepet-cepet karena udah nggak ada duit buat bayar UKT dan nggak tahu mesti minjem ke siapa lagi.
Angkasa dan adik-adiknya juga nggak kepikiran gimana sedihnya para sarjana yang orang tuanya udah jualan harta benda di kampung, tapi pas lulus ada pandemi corona dan mereka jadi makin susah dapat kerja. Intinya meski sama-sama 'malang' dan merasa sedih akan hidupnya, tingkatannya pasti beda.
Dan di usia segini, aku memutuskan untuk fokus aja pada kemalangan-kemalangan yang lebih bersahaja. Aku memutuskan percaya bahwa bekerja dan memiliki lebih banyak materi akan membawa lapisan privilege yang lebih banyak pada hidupku, pada hidup anak-anakku ke depannya nanti.
Paling nggak, aku ingin mereka nanti bisa relate dengan jenis kesedihan 'nggak bisa makan bersama keluarga' dibandingkan sedihnya orang 'nggak bisa makan'. Aku juga mau mereka sedih karena 'terpaksa jual mobil buat kuliah S2 di luar negeri' daripada mesti 'sedih' dan nangis-nangis minta dikuliahin setelah SMA.
Syukur-syukur kalau mereka bisa jadi motivator dan enterpreneur muda atau bisa bekerja untuk membuat impact alih-alih cuma mengumpulkan pundi-pundi Rupiah untuk menyambung hidup. Siapa tahu mereka bisa buat buku dan diundang ngisi seminar sambil menceritakan perjuangannya membangun bisnis? Lebih menarik kan, daripada orang-orang basic dengan siklus sekolah-kuliah-kerja-bertahan hidup-mati?