Bagian satu dari catatan-catatan pengingat menuju usia 25 tahun.
Beberapa tahun lalu gue pernah berjanji pada diri gue sendiri bahwa di umur segini gue harus jadi individu yang "selesai" dengan dirinya sendiri, sehingga gue bisa memutuskan hal-hal lebih besar yang berkaitan dengan orang lain.
Beberapa tahun lalu gue pernah berjanji pada diri gue sendiri bahwa di umur segini gue harus jadi individu yang "selesai" dengan dirinya sendiri, sehingga gue bisa memutuskan hal-hal lebih besar yang berkaitan dengan orang lain.
Pekerjaan dan corona yang [kirain] sebatas bercanda aja
Biar gue inget-inget. Awal tahun gue dikabarin bakal punya boss baru. Hari itu — bukan bermaksud rasis — gue sedikit was-was karena si calon boss berasal dari Shanghai. I mean di sana lagi chaos-chaosnya ga sih?! Gimana kalau dia carrier? Wow.
Ternyata itu cuma pikiran di kepala gue — dan jokes anak-anak kantor soal corona — sampai akhirnya urusan pekerjaan menghajar kami hingga babak belur dan nggak nyisain sedikit pun panik kecuali pada target-target yang terancam nggak achieved. Literally, nggak achieved.. semuanya.
Belum pernah sesedih ini gue bekerja.
But life must go on. Paling nggak itu gue rasain sampai akhirnya pemerintah ngumumin udah dua orang positif corona dan VP gue nyaris batalin meeting untuk.. belanja. Meski begitu, gue masih sempet bercanda dengan Ageng soal kalopun kita mati kayaknya nggak ada yang nangisin.
Bercandaan yang menurut gue bener-bener nggak serius. Karena tiba-tiba untuk pertama kalinya gue ngerasain yang namanya khawatir.. bukan sama diri gue, tapi orang-orang lain. Gue khawatir karena Bapak nggak bisa stay di rumah karena mesti kerja, gue khawatir karena Ibu nggak sepenuhnya paham gimana cuci tangan, gimana social distance, gimana membatasi kontak dengan orang lain. Even gue khawatir karena Angga selalu commute naik busway dari kantor ke kosannya.
Di titik ini, gue tahu sepertinya ada yang berubah di psikologis gue, sebuah perubahan cukup mendasar karena ternyata gue bukan anak kecil ataupun kelompok dewasa muda lainnya yang hidupnya sebatas yang-penting-gue-aman.
Menjadi nakal yang tidak pernah membanggakan
Beberapa hal menyebalkan meski ada lebih banyak yang mesti disyukuri, salah satunya adalah umur gue hampir 25 tahun dan amazing. Gimana enggak? Gue lepas dari urusan financial yang mengganggu usia 20an gue menjadi nggak seceria anak-anak di kampus, punya kerjaan yang nyenengin, teman-teman menarik, dan pasangan yang manis —kan?
Semakin ke sini, gue semakin memasuki fase membenci orang-orang yang lebih muda. Oh bukan lagi millennial. Lebih tepatnya Gen Z yang di mata gue entah kenapa tololnya nggak habis-habis. Gue makin worry dengan masa depan jikalau misalnya gue punya anak dan gue ga bisa ngedidik mereka dengan bener.
Gue khawatir dengan cewek-cewek tolol yang bisa-bisanya mau diajak cuddling padahal baru kenal tadi siang di Twitter. Gue khawatir dengan predator yang bahkan memangsa anak-anak. Even gue makin parno dengan wibu berkat sebuah kasus di Jakarta kemarin! Can you imagine kalo orang-orang itu adalah orang terdekat lo hah?
Sejak kecil gue selalu dididik dengan baik, jadi anak olim matematika yang bikin masa remaja gue nyaris gapernah punya kisah romansa, ambis di banyak hal, disuruh ngaji dan beragama biar hidupnya bener. Lalu di umur 25 tahun ini gue bener-bener ngeliat di mana orang-orang dengan bangganya memaksa jadi nakal.
Jangan pernah jadi murah. Jadilah yang mahal, berkelas, nggak gampang. Peristiwa dengan mantan rekan sekantor Angga dulu membuat gue punya sumpah dalam hati untuk gue dan perempuan-perempuan dalam keturunan gue ke depan jangan sampe jadi murah, apalagi sampai membalas chat lelaki dengan: ih kok nggak dibales sih, kzl.
Jangan. Pernah. Begitu.
Pun ketiga seorang teman gue cerita bahwa rekan sekantornya mencoba flirting padahal dia sudah beristri. "Jangan!" kata gue.
"Nggak mau mengganggu rumah tangga orang."
Cukup mbaknya aja.
Anyway, ada yang sudah menikah akhirnya. Oya, ngomong-ngomong seberapa besar sih lo percaya sama wibu yang lo temuin dari Tinder? Hehe.
Semakin ke sini, gue semakin memasuki fase membenci orang-orang yang lebih muda. Oh bukan lagi millennial. Lebih tepatnya Gen Z yang di mata gue entah kenapa tololnya nggak habis-habis. Gue makin worry dengan masa depan jikalau misalnya gue punya anak dan gue ga bisa ngedidik mereka dengan bener.
Gue khawatir dengan cewek-cewek tolol yang bisa-bisanya mau diajak cuddling padahal baru kenal tadi siang di Twitter. Gue khawatir dengan predator yang bahkan memangsa anak-anak. Even gue makin parno dengan wibu berkat sebuah kasus di Jakarta kemarin! Can you imagine kalo orang-orang itu adalah orang terdekat lo hah?
Sejak kecil gue selalu dididik dengan baik, jadi anak olim matematika yang bikin masa remaja gue nyaris gapernah punya kisah romansa, ambis di banyak hal, disuruh ngaji dan beragama biar hidupnya bener. Lalu di umur 25 tahun ini gue bener-bener ngeliat di mana orang-orang dengan bangganya memaksa jadi nakal.
Mungkin ini waktu yang paling tepat untuk gue harus bilang bahwa gue bangga jadi anak pinter dan baik-baik.Paling nggak itu satu-satunya yang menolong gue di saat-saat terburuk —dan semoga terus ke depannya.
Murah, jangan?
Jangan.Jangan pernah jadi murah. Jadilah yang mahal, berkelas, nggak gampang. Peristiwa dengan mantan rekan sekantor Angga dulu membuat gue punya sumpah dalam hati untuk gue dan perempuan-perempuan dalam keturunan gue ke depan jangan sampe jadi murah, apalagi sampai membalas chat lelaki dengan: ih kok nggak dibales sih, kzl.
Jangan. Pernah. Begitu.
Pun ketiga seorang teman gue cerita bahwa rekan sekantornya mencoba flirting padahal dia sudah beristri. "Jangan!" kata gue.
"Nggak mau mengganggu rumah tangga orang."
Bukan masalah mengganggu rumah tangga orang, tapi harga diri.Prinsip untuk jangan pernah jadi lonte sama kuatnya dengan jangan pernah ada lonte di antara kita. Teman-teman gue tidak ada yang boleh jadi lonte.
Cukup mbaknya aja.
Anyway, ada yang sudah menikah akhirnya. Oya, ngomong-ngomong seberapa besar sih lo percaya sama wibu yang lo temuin dari Tinder? Hehe.