Tiga Puluh Tahun

Bloom with grace, courage, and resilience, and inspire others to do the same.

Beberapa waktu lalu ketika ke Singapore, aku berkesempatan ketemu dengan mantan atasanku; salah satu orang terpenting yang membentukku secara pribadi dan profesional seperti sekarang. Dalam pertemuan kami yang singkat itu — karena beliau luar biasa sibuk, dia menanyakan kabarku dan kubilang bahwa saat ini aku sedang ‘living the best time of my life’.

Tentu bukan tanpa alasan aku bicara demikian, karena nampaknya, setelah 30 tahun aku hidup, aku merasa aku baru bisa memaknai hidupku sebaik ini.

Ah, 30 tahun. Angka genap yang sempurna.

Di usia 30 tahun, aku merasa energiku sebaik ketika aku 20 tahun. Namun, di masa ini, psikisku berkembang jauh lebih baik. Aku jadi kalem dengan segala hal, melihat tragedi jadi komedi, dan aku lebih rileks untuk semua hal yang nampaknya tidak bisa kukontrol. Secara penuh pula, aku merasa lebih mencintai diriku — yang seumur hidup kupertanyakan apakah aku cukup baik, apakah cukup layak dicintai, apakah cukup pintar, apakah cukup menarik?

Barangkali karena hal-hal yang dulunya ingin kuvalidasi, sekarang sudah tidak lagi — atau mungkin sudah?

Sesederhana pertanyaan soal pasangan. Dulu di usia 20, aku kerap bertanya-tanya apakah aku sungguhan akan ketemu orang yang dengannya aku bisa menikah dan membangun keluarga? Pada saat itu, di lingkaranku yang terbatas, aku merasa tidak terlalu tertarik dengan laki-laki lebih dari teman. Kalaupun ada satu dua yang membuatku tertarik, itu sebatas rasa penasaran. Artinya, untuk jangka 10–20 tahun pun aku tidak melihat bagaimana jalannya kami bisa bareng.


Hal kedua adalah soal pekerjaan. Di usia 30 ini, aku akhirnya sadar sudah 10 tahun aku bekerja. Memang sih, kerja fulltimeku baru mulai sekitar 8 tahun lalu, tapi secara profesional, sebenarnya aku sudah mulai bekerja sejak 2015 ketika mengambil project-project di kampus ataupun freelance di berbagai tempat.

Sebagai lulusan psikologi yang iseng masuk ke tech company, mengambil role jadi marketer, lalu ke product, aku selalu mempertanyakan ke diriku sendiri apakah bekerja memang sudah seperti ini yang benar?

Kerja itu.. sangat kompleks. Berbeda dengan sekolah atau kuliah yang punya kurikulum jelas, ada batas waktu dan nilai yang jelas, dalam bekerja, itu semua abu-abu. Terlebih aku memilih bekerja di industri yang terhitung baru. Di pekerjaan yang kugeluti sekarang, aku merasa tidak ada orang yang 100% expert. Orang dengan banyak pengalaman, mungkin banyak, namun yang sungguhan expert, kurasa tidak ada.

Pertemuanku dengan mantan bosku di Singapore beberapa waktu lalu menjadi pengingat penting, betapa dulu, ketika aku masih bekerja dengan dia, aku kerap bertanya-tanya, “Kerjaanku kayak gini ini udah bener nggak, sih?” Lalu, dia yang notabene 10 tahun lebih awal bekerja, dengan bijak bilang, “There’s no such an expert in our industry.”

Jawaban seperti itu, somehow, dulu kupandang sebagai kegamangan, membuatku tidak yakin apakah tempat ini sungguh tempat yang benar untuk belajar atau aku cuma sekadar main-main menghabiskan waktu?


Hari ini berarti sekitar 8 tahun sejak aku bingung-bingung menceritakan kecemasanku, mencari validasi dari atasanku, bingung gimana menjelaskan dengan Bahasa Inggris yang terbatas, atau bingung memenuhi ekspektasi dan cara kerjanya yang Singapore banget!

Lucunya aku sekarang masih kerja dengan orang Singapore, di kantor yang culturenya Singapore banget — surprisingly mereka ini kolega yang aku bisa kerja seanteng itu saking nggak adanya drama dan unggah-ungguh bullshit. Aku ternyata sudah bekerja selama itu dan alih-alih merasa expert, aku justru merasa makin ingin belajar lagi dan makin ‘malu’ untuk koar-koar soal keahlian atau pekerjaanku meski produkku digunakan lebih dari 15 juta orang — selain memang kantorku sangat membatasi kami untuk bicara soal pekerjaan wqwq.

Bisa dibilang, soal pekerjaan, aku sudah tidak lagi sibuk memvalidasi. Ini bukan berarti aku sudah puas, ya. Tapi, aku sampai di titik yang merasa bahwa bekerja itu seperti halnya orang marathon, bukan sprint. Mungkin kecepatan tinggi matters, tapi itu bukan yang utama. Karena yang terpenting adalah pace untuk sampai finish yang sangat jauh dan lama. Bayangkan jika aku pensiun di umur 60 tahun, berarti aku masih punya 30 tahun lagi untuk ‘lari’.

Aku mulai mengurangi keteganganku dengan hal-hal yang kurang perlu, terlebih jika menyangkut pekerjaan. Karena, yah, bekerja akan masih sangat lama bagiku. Hal terpenting saat ini adalah tetap membuka diri untuk belajar, stay hungry, stay foolish — untuk ini aku setuju kata-kata orang kaya.


Terakhir, barangkali ini yang paling penting, di umur 30 tahun aku mencintai diriku secara menyeluruh. Aku merayakan semuanya. Aku memastikan tubuhku sehat lahir dan batin. Aku berolahraga rutin, setidaknya seminggu sekali aku yoga, ke gym paling nggak tiap 2 hari sekali. Belakangan bahkan aku ikut kelas renang agar opsi olahraga cardio-ku bertambah setelah aku cedera dan nggak bisa lari.

Seumur hidup tumbuh jadi perempuan Jawa berkulit gelap, aku berada di fase yang se-tidak-masalah itu dengan warna kulit. Tentu bekerja dengan kolega yang 96% Chinese, baik itu Indonesian-Chinese, Malaysian-Chinese, Singaporean-Chinese, ataupun Chinese yang beneran dari Mainland, membuatku sadar, sia-sia belaka mengupayakan kulit terang. HAHAHA.

Ternyata, orang memang tidak menilaiku dari warna kulitku, sukuku, asal rasku, bahkan orang tidak melihatku lulus sekolah dari mana — somehow lulusan kampus Slemat at some point membuatku inferior setengah mati di antara lulusan kampus-kampus Singapore, Aussie, ataupun dari US. Dan hal-hal itu, somehow membuatku lebih bisa menertawakan hal-hal yang dulu kuanggap sebagai tragedi.

Aku kini santai aja membicarakan kedua orang tuaku yang tidak pernah kuliah. Aku bahkan terang-terangan mengatakan kami miskin. Alih-alih menutupi akar, dan berpura-pura datang dari keluarga bangsawan kabupaten, aku lebih ingin menjuntaikan cabang-cabangku semakin jauh, semakin lebar, dan ke mana-mana.

Aku bahkan mulai mencari waktu untuk mengajak kedua orang tuaku ke Singapore agar mereka juga melihat kota yang selama ini kugadang-gadang sebagai tempat yang ideal untuk sekolah anakku kalau suatu hari aku punya anak. Aku mau membagi hal-hal yang sekarang terlihat sederhana bagiku, tetapi bagi orang tuaku mungkin jadi pengalaman luar biasa. Orang tuaku yang nggak pernah kuliah, yang punya paspor pertama kali di umur 50an — itupun cuma kepakai karena pergi haji, yang hidup dan mimpinya sangat sederhana; bisa menghadiri wisuda anaknya di UGM.

Tentu aja mereka nggak akan kepikiran kalau anak dan menantunya kalau kerja sekarang harus full kemenggres dan bahkan anaknya sekarang lagi struggling menghafal hanzi biar kalau tinggal di hotel di Chinatown lagi, lalu ketemu orang yang hanya bisa Bahasa Mandarin, nggak bingung harus ngomong pakai Google Translate. HAHA.

Aku mencintai diriku sepenuhnya dan aku mengupayakan perayaan-perayaan untuk diriku yang mau sabar dan belajar. Tentu saja sangat manusiawi kalau ada satu dua hal yang aku sesali, terutama kenapa aku sangat khawatir Tuhan nggak adil padahal belum pernah sekalipun Ia tidak menjawab permintaanku — meski kadang membingungkan.

Selamat ulang tahun, Ervina. Semoga di umur ini, kamu terus bertumbuh dan tetap bertumbuh.


Tulisan dipublikasikan juga di Medium.

Post di 2024


Tulisan ini mungkin adalah tulisan pertama sekaligus terakhir di blogku tahun ini.

Ah blogku yang kubeli dengan domain atas namaku, yang tiap tahun kuhidupi dan kuperpanjang sewanya, entah kenapa beberapa tahun terakhir ini aku tidak punya energi untuk menulis di sini, meski aku masih cukup produktif di Medium.

Entahlah. Mungkin karena di Medium aku merasa lebih interaktif, aku melihat orang membaca dan mendapatkan sesuatu dari tulisanku. Sementara blog ini relatif sunyi. Komunitas blogger tidak seramai jaman aku SMA dulu --yang bahkan aku jadi bisa berkawan dan mendapatkan teman di dunia nyata berkat tulisan-tulisan random di blog.

Bagaimanapun aku sudah membayar domain atas namaku dan mau tidak mau aku harus menulis. Di akhir tahun 2024 ini, aku menggunakannya untuk refleksi atas apapun yang terjadi dalam setahun terakhir.

Aku sudah lama tidak punya goal tahunan yang spesifik. Seingatku, keinginanku setiap tahun selalu sama: bisa bahagia terus.

Tahun 2024 aku rasa adalah fase 'norming' setelah tahun-tahun sebelumnya aku merasa badai bertubi-tubi datang. Aku masih punya beberapa sesi konseling dengan psikolog meski sekarang relatively stabil. Secara pribadi, di tahun ini aku merasa berkembang. Bukan hanya karena usiaku memang secara default bertambah, tetapi juga karena di tahun ini aku memulai hal-hal baru yang tidak kulakukan sebelumnya.

Di tahun ini untuk pertama kalinya aku rajin olahraga. Memang sih, cuma yoga. Tapi meski cuma yoga, aku merasa lebih fit. Aku jadi lebih sering menggunakan public transportation ke kantor menghindari kesemrawutan Kota Jakarta, menikmati setiap langkah di trotoar jelek negara yang sebentar lagi PPN-nya 12%.

Berjalan kaki (dan menggunakan transportasi umum) at some point jadi terapi sendiri, karena aku jadi belajar untuk rileks namun sekaligus memanage waktu dengan lebih baik. For some context, public transportation yang kupilih dari dan ke kantor punya jadwal spesifik yang harus diikuti karena jumlahnya terbatas --lagi-lagi karena aku tinggal di negara yang sebentar lagi PPN-nya 12%.

***

Di tahun ini, pernikahanku dengan Angga melewati tahun ketiga. Artinya lebih dari 7 tahun kami mengenal satu sama lain. Tentu saja dalam setiap dinamika hubungan, ada fase-fase yang masih sering membuatku syok dan hah-hoh, namun the way we manage the conflict udah jauh lebih baik. Akhirnya kami berdinamika sebagai pasangan yang 'lebih' dewasa and I need to somehow appreciate my husband for his continuous effort to make things better.

Angga just got his 'dream job' in one of the biggest tech companies in the world and it makes this year even wonderful than ever. After years working for global tobacco industry, now he's moving to zio**** corporation. WKWK.

Meski masih sama-sama berstatus kelas pekerja, aku realise dalam beberapa tahun ke belakang ini kehidupan kami jauh membaik, terutama dari segi ekonomi. Dan aku luar biasa bersyukur atas itu. Aku nggak pernah membayangkan sebelumnya bahwa aku bisa melunasi hutang ratusan juta, membayar biaya haji kedua orang tuaku, dan sekarang aku mensupport hidup keponakanku yang ditelantarkan bapaknya yang bajingan.

Meski dengan semua pengeluaran yang darderdor dan wasweswos itu, aku tidak merasa kekurangan. Mungkin ini kali ya, yang disebut dengan konsep rezeki. Rasa-rasanya dewasa ini aku bersyukur sekali pada Tuhan untuk semua hal yang sudah terjadi di masa lalu yang membawaku sampai di titik ini. Kayak ini cukup menggambarkan hidup yang dulu-dulu aku cuma membayangkan gimana rasanya, tapi sekarang aku tahu.

***

Selama hidup, aku adalah orang yang selalu yakin pada pilihan yang kuambil. Dan sejauh ini, pilihan-pilihan itu belum pernah mengecewakan. Satu-satunya hal yang kurasa masih gamang adalah keputusan apakah aku akan punya anak atau tidak.

Jujur setelah keponakanku lahir, keraguanku untuk punya anak meningkat beberapa level. Bukan lagi pada alasan-alasan ekonomi seperti mahalnya biaya punya anak, tapi juga ke alasan-alasan yang lebih fundamental seperti, kenapa sih aku harus melahirkan satu manusia lagi ke bumi? Apa urgensinya? Bagaimana kalau suatu hari nanti anakku menanyakan hal semendasar ini?

Meski aku mensyukuri hidupku, namun jauh di dalam pikiranku aku belum menemukan alasan kenapa orang tuaku harus melahirkan aku? Kenapa mereka harus punya anak?

Tentu sebagai orang tua yang tidak tersentuh pendidikan tinggi, mereka nggak akan memberikan jawaban yang memuaskan ketika kutanya. Yang ada aku cuma akan dapat jawaban-jawaban nonsense bahwa anak penting untuk melanjutkan keturunan, untuk menemani di hari tua, dll --hal-hal yang nggak beneficial di sisiku sebagai anak yang dilahirkan dan dituntut struggling sepanjang hidupnya.

Secara umum, aku bahagia dengan hidupku. However aku tidak bisa memastikan jika ada satu manusia lagi yang keberadaannya ada karena pilihanku, ia bisa merasakan hal serupa. Jadi sampai sekarang aku masih bingung.

Suamiku tipe orang yang pasif-agresif, dan aku pikir ia pun tidak memiliki jawaban dan alasan valid kenapa kami harus punya anak.

Pada kondisi seperti ini, aku sedikit bersyukur memiliki orang tua seperti orang tuaku, karena mereka jadi tidak punya hak sedikit pun mengatur hidupku. Semua pilihan ada di tanganku.

***

Well, secara umum kurasa tahun 2024 adalah tahun yang baik untuk melanjutkan hidup. Dan aku berharap di 2025 hal-hal baik juga akan terjadi.

Tentang Menikah dan Hal-hal Setelahnya

Ketika gue menulis post ini ada sebuah perubahan besar yang menyeluruh dalam diri gue karena gue sekarang udah menikah. Selama bulan-bulan pertama menikah, tidak seperti kebanyakan pasangan yang menikmati bulan-bulan madu, bagi kami ini adalah bulan-bulan dengan cicilan yang tidak berkesudahan. 

Sederet PR sudah menghantui kami [atau minimal menghantui gue sih] tentang bagaimana relasi ini akan dipertahankan ke depannya --dengan beban finansial yang ternyata masyaallah banyaknya. Hehe. Tapi tentu saja kami masih berpikir positif ini semua akan baik-baik aja selama gue dan suami masih sehat dan mampu bekerja keras seperti sekarang.

Bagaimanapun kami juga harus banyak bersyukur karena di tengah pandemi ini kami justru berkesempatan mengumpulkan aset berikut dengan keberuntungan-keberuntungan yang datang bertubi-tubi. Misalnya saja beberapa waktu sebelum kami menikah, gue malah dikabarin sales yang kemarin bantuin gue beli mobil kalo gue menang grand prize akhir tahun. It was like.. ya Tuhan, baik bener, mau kawin malah dikadoin mobil baru [lagi]. Selain itu, gue dan suami juga dapat kerja baru dengan gaji baru dan segalanya yang baru, yang lebih baik.

Selama masa-masa membangun fondasi rumah tangga, ada beberapa hal yang menjadi pembelajaran, at least buat gue sendiri, yakni tentang berkompromi. Kompromi, kompromi, dan kompromi. Nggak cuma ke pasangan, tapi juga ke semua orang.

Jika ada satu hal yang paling gue takutin dalam pernikahan sejak dulu [dan mungkin sampai sekarang] adalah tentang keluarga besar. Dan gue rasa ketakutan ini valid, karena nggak cuma gue yang worry, tapi juga suami.

Kita semua adalah menantu yang tidak diidamkan oleh keluarga masing-masing.

Aku selalu berkata pada suami bahwa mungkin dia bukan tipe menantu yang diimpikan oleh orang tuaku. Ya iyalah, semua orang ingin berbesan dengan bangsawan yang punya warisan untuk 7 turunan. "Tapi kan kamu nggak," kataku.

Namun, dia juga bilang kalau sebenarnya ibunya mungkin menginginkan tipikal menantu seperti mantan pacar sepupunya --yang secara karakter dan segalanya bertolak-belakang denganku. Pada beberapa detik setelahnya aku cukup mikir. Wow bahkan ibu mertuaku punya kriteria menantu.. like.. seriously?

Mau tidak mau aku mesti jujur mengatakan bahwa sebaiknya orang tua kita paham ada pre-requisite untuk memiliki requirement pada calon menantunya, yakni, mengutip Ayah Ojak, ngaca dulu kaliikk.

Jauh sebelum aku menikah, aku sudah mewanti-wanti Bapak dan Ibu bahwa suami yang gue butuhkan bukan suami yang orang tuanya kaya raya, tapi suami yang pintar, yang selevel. Ya minimal secara edukasi kita setara, secara pekerjaan kita sebanding, sehingga kita memenuhi syarat 'sekufu' yang sering dibilang orang-orang agamis. Terlalu jauh gapnya, either gap ke atas atau ke bawah, gue rasa nggak baik. Sementara mengenai hal-hal yang di luar dari individu itu sendiri, sebaiknya penilaiannya dibuat sekunder atau bahkan tersier karena tidak penting. 

Pertama, gue rasa sebagai orang tua, mereka nggak punya trade-off untuk itu. Kedua, dan yang paling penting, gue nggak pengen berhubungan terlalu dekat dengan keluarga besar. Baik di sisi gue maupun suami. That's why gue memutuskan tinggal jauh dari siapa-siapa. Bukan tidak rukun, hanya menghindari konflik sebisa mungkin.

Sebagai kaum terpelajar, gue rasa kami (gue dan suami) paham bahwa bekal organisasi yang kokoh adalah independensi. Kami mau seindependen mungkin dalam membangun keluarga, termasuk di dalamnya secara finansial, religi, moral, dan sosial. Semua nilai itu harus atas penentuan kami dan tidak dipengaruhi siapa-siapa.

Akhirnya perjalanan ini dimulai juga. Kata orang, semakin tinggi pohon menjulang, semakin kencang angin berhembus. Kami paham itu. Tapi kami juga yakin, akar yang kokoh akan melindungi pohon dari sekencang apapun badai yang ada.

Lagipula, jauh sebelum ini, kami sudah memutuskan untuk mengikuti ke mana angin akan berhembus, meski di Jakarta sering terjadi badai.

Ingatan


Aku punya banyak sekali kisah tentang ingatan. Kisah-kisah yang kalau aku ingat-ingat dan ceritakan, kadang-kadang membuat bingung mengapa ada sedemikian banyak hal yang harus disimpan oleh tukang arsip di kepalaku --padahal menurutku itu tidak penting.

Misalnya saja aku masih ingat ketika SD ada seorang teman sekelasku yang aku lupa kenapa tiba-tiba [diam-diam] memukulku dari belakang. Seingatku sebelumnya memang aku bertengkar dan sedikit ribut di kelas, cuma aku pikir yaudah. Dan kenapa dia harus secara diam-diam memukulku? Dari belakang pula. Ohya, dia anak lelaki. Hingga kini aku masih ingat namanya meski aku lupa wajahnya dan aku masih bersumpah kalo suatu hari aku bertatap muka dengannya ingin aku sekali aku bilang sebaiknya dia memotong kemaluannya dan menjadi kasim --meski sepertinya kesempatan ini nggak akan pernah terjadi sih, karena satu-satunya yang kuingat cuma nama panggilan dan nama itu cukup pasaran. Aku lupa rumahnya di mana, siapa orang tuanya, dan aku bahkan lupa dia teman sekelasku di kelas berapa.

Tukang arsip di kepalaku kadang-kadang memang sangat menyebalkan. Pada hal yang aku sangat ingin disimpan, ia justru membakar semua memori itu tidak tersisa, dan pada hal-hal lain yang aku sangat ingin lupakan, diendapkannya potongan-potongan memori itu seperti ketika aku mengingatnya lagi, ada film dokumenter diputar di kepalaku.

Beberapa ingatan sangat mengganggu. Ingatan membuat kita menyalahkan masa lalu. Ingatan membuat kita bersedih atas sesuatu yang sudah terlewat. Ingatan membuat kita lupa pada apa yang sesungguhnya terjadi hari ini.

Namun, bukan tanpa sebab tukang arsip di kepalaku masih menyimpan semua itu. Barangkali melalui potongan-potongan ingatan itu, aku jadi diingatkan untuk selalu berhati-hati --karena semua hal yang buruk dan menyedihkan itu pernah terjadi. Ingatan memberiku kenangan tentang pedihnya kehilangan, sehingga ia menjadi pelajaran untuk lebih menghargai pada apa yang aku miliki pada saat ini.


Hal Kecil

small thing matters

Beberapa waktu lalu aku membuka 'tumpukan' email lama untuk mencari beberapa berkas. Secara tidak sengaja justru aku menemukan beberapa email yang mengawali semua perjalanan karierku hingga saat ini: melamar internship.

"Masa ya aku pernah ditolak intern Ruangguru!" kataku pada Angga.

"Aku juga pernah ditolak jadi Telemarketing di Ruangguru," jawabnya. Hahaha. Sontak aku tertawa. Pasalnya aku nggak ngebayangin gimana bentukan Angga melakukan pekerjaan telemarketing.. untuk Ruangguru pula.

Pada email-email yang lebih baru, aku menemukan surat pengunduran diriku dari kantor yang lama. Kira-kira setahun lalu aku menulisnya untuk manager, mentor, sekaligus teman ngobrol yang menyenangkan di kantor. Ada satu kalimat yang nggak tahu kenapa sangat menyentuhku di saat-saat seperti ini. Bunyinya kurang lebih, "Thank you for creating a climate that makes it a pleasure to work each morning and I think I will miss all of you in the team."

Untuk beberapa menit aku mulai merenungi apa hal-hal yang terjadi sejak hari pertama hingga 2,5 tahun kemudian kuhabiskan di sana.

***

Suatu hari di Jakarta sedang hujan badai. Aku tinggal di Setiabudi dan Angga masih tinggal di Pejaten; meski waktu itu dia udah kerja di Sudirman. Sejak sampai di kamar kosnya dia langsung meneleponku sebagai bagian dari rutinitas, dan nyerocos panjang-lebar tentang perjalanannya pulang kantor yang kurang menyenangkan --naik MRT sampai ke Cipete, tapi lalu nggak ada satupun ojek online yang mau mengambil pesanannya.

"Kenapa nggak naik mobil?"

"Mahal banget, beb!"

"Hmm iya juga sih."

Aku tahu dia sedang kesal, jadi daripada memperpanjang urusan dengan bahasan tukang ojek, aku pun mengalihkan dengan obrolan lain seperti, "Dulu waktu belum ada aku kalo jam segini dan kamu baru pulang gini ngapain?"

"Aku nggak pernah pulang jam segini kan aku belum kerja," jawabnya.

"Oh ya juga ya," kataku. Tapi tiba-tiba aku jadi berpikir soal diriku sendiri. Waktu aku belum punya Angga, kalau jam segini aku ngapain ya?

Sejak dulu aku lebih banyak suwungnya sih memang. Blogging, membaca buku, ngelamun di kedai kopi. Tapi apakah setiap hari? Hmm kenapa aku bisa benar-benar lupa ya.

***

Pada ingatan manusia yang sangat pendek, beberapa hal yang kita lihat kecil akan sangat mudah dilupakan. Manusia mengalami peristiwa, manusia mengingat, manusia mengalami peristiwa baru, lalu manusia melupakan ingatan lama dan menggantinya dengan ingatan baru. Seperti itu kurang lebih ilmu pengetahuan menjelaskan bagaimana otak kita didesain seperti lemari penyimpanan dengan tukang arsip yang bekerja siang-malam tanpa henti untuk memilih dan memilah mana arsip yang penting dan tidak penting untuk disimpan.

Sayangnya pada hampir semua hal kecil, tukang arsip kita selalu mengatakan itu tidak penting. Misalnya pada apa yang terjadi selama puluhan aplikasi internshipku ditolak, mengapa aku tetap kekeuh dan tidak merasa gentar atau sedih? Atau, apa yang terjadi di kantorku dulu, mengapa meski secara bersamaan aku harus bekerja fulltime, kuliah, dan mengerjakan project, aku masih bahagia-bahagia aja? Yang paling bikin aku heran adalah dulu sebelum Angga ada dan karenanya aku jadi punya beberapa rutinitas baru, apa yang biasa aku lakukan?

Kita sering lupa pada suatu hal yang kita pikirkan tidak terlalu penting atau bisa dibilang bukan hal-hal besar. Hal itu membuat kita sering abai pada banyak sekali hal yang mestinya bisa membuat senang, bisa disyukuri, bisa dijadikan sebagai alasan untuk tetap hidup dan merasa hidup kita berarti.