Tentang Menikah dan Hal-hal Setelahnya

Ketika gue menulis post ini ada sebuah perubahan besar yang menyeluruh dalam diri gue karena gue sekarang udah menikah. Selama bulan-bulan pertama menikah, tidak seperti kebanyakan pasangan yang menikmati bulan-bulan madu, bagi kami ini adalah bulan-bulan dengan cicilan yang tidak berkesudahan. 

Sederet PR sudah menghantui kami [atau minimal menghantui gue sih] tentang bagaimana relasi ini akan dipertahankan ke depannya --dengan beban finansial yang ternyata masyaallah banyaknya. Hehe. Tapi tentu saja kami masih berpikir positif ini semua akan baik-baik aja selama gue dan suami masih sehat dan mampu bekerja keras seperti sekarang.

Bagaimanapun kami juga harus banyak bersyukur karena di tengah pandemi ini kami justru berkesempatan mengumpulkan aset berikut dengan keberuntungan-keberuntungan yang datang bertubi-tubi. Misalnya saja beberapa waktu sebelum kami menikah, gue malah dikabarin sales yang kemarin bantuin gue beli mobil kalo gue menang grand prize akhir tahun. It was like.. ya Tuhan, baik bener, mau kawin malah dikadoin mobil baru [lagi]. Selain itu, gue dan suami juga dapat kerja baru dengan gaji baru dan segalanya yang baru, yang lebih baik.

Selama masa-masa membangun fondasi rumah tangga, ada beberapa hal yang menjadi pembelajaran, at least buat gue sendiri, yakni tentang berkompromi. Kompromi, kompromi, dan kompromi. Nggak cuma ke pasangan, tapi juga ke semua orang.

Jika ada satu hal yang paling gue takutin dalam pernikahan sejak dulu [dan mungkin sampai sekarang] adalah tentang keluarga besar. Dan gue rasa ketakutan ini valid, karena nggak cuma gue yang worry, tapi juga suami.

Kita semua adalah menantu yang tidak diidamkan oleh keluarga masing-masing.

Aku selalu berkata pada suami bahwa mungkin dia bukan tipe menantu yang diimpikan oleh orang tuaku. Ya iyalah, semua orang ingin berbesan dengan bangsawan yang punya warisan untuk 7 turunan. "Tapi kan kamu nggak," kataku.

Namun, dia juga bilang kalau sebenarnya ibunya mungkin menginginkan tipikal menantu seperti mantan pacar sepupunya --yang secara karakter dan segalanya bertolak-belakang denganku. Pada beberapa detik setelahnya aku cukup mikir. Wow bahkan ibu mertuaku punya kriteria menantu.. like.. seriously?

Mau tidak mau aku mesti jujur mengatakan bahwa sebaiknya orang tua kita paham ada pre-requisite untuk memiliki requirement pada calon menantunya, yakni, mengutip Ayah Ojak, ngaca dulu kaliikk.

Jauh sebelum aku menikah, aku sudah mewanti-wanti Bapak dan Ibu bahwa suami yang gue butuhkan bukan suami yang orang tuanya kaya raya, tapi suami yang pintar, yang selevel. Ya minimal secara edukasi kita setara, secara pekerjaan kita sebanding, sehingga kita memenuhi syarat 'sekufu' yang sering dibilang orang-orang agamis. Terlalu jauh gapnya, either gap ke atas atau ke bawah, gue rasa nggak baik. Sementara mengenai hal-hal yang di luar dari individu itu sendiri, sebaiknya penilaiannya dibuat sekunder atau bahkan tersier karena tidak penting. 

Pertama, gue rasa sebagai orang tua, mereka nggak punya trade-off untuk itu. Kedua, dan yang paling penting, gue nggak pengen berhubungan terlalu dekat dengan keluarga besar. Baik di sisi gue maupun suami. That's why gue memutuskan tinggal jauh dari siapa-siapa. Bukan tidak rukun, hanya menghindari konflik sebisa mungkin.

Sebagai kaum terpelajar, gue rasa kami (gue dan suami) paham bahwa bekal organisasi yang kokoh adalah independensi. Kami mau seindependen mungkin dalam membangun keluarga, termasuk di dalamnya secara finansial, religi, moral, dan sosial. Semua nilai itu harus atas penentuan kami dan tidak dipengaruhi siapa-siapa.

Akhirnya perjalanan ini dimulai juga. Kata orang, semakin tinggi pohon menjulang, semakin kencang angin berhembus. Kami paham itu. Tapi kami juga yakin, akar yang kokoh akan melindungi pohon dari sekencang apapun badai yang ada.

Lagipula, jauh sebelum ini, kami sudah memutuskan untuk mengikuti ke mana angin akan berhembus, meski di Jakarta sering terjadi badai.

Ingatan


Aku punya banyak sekali kisah tentang ingatan. Kisah-kisah yang kalau aku ingat-ingat dan ceritakan, kadang-kadang membuat bingung mengapa ada sedemikian banyak hal yang harus disimpan oleh tukang arsip di kepalaku --padahal menurutku itu tidak penting.

Misalnya saja aku masih ingat ketika SD ada seorang teman sekelasku yang aku lupa kenapa tiba-tiba [diam-diam] memukulku dari belakang. Seingatku sebelumnya memang aku bertengkar dan sedikit ribut di kelas, cuma aku pikir yaudah. Dan kenapa dia harus secara diam-diam memukulku? Dari belakang pula. Ohya, dia anak lelaki. Hingga kini aku masih ingat namanya meski aku lupa wajahnya dan aku masih bersumpah kalo suatu hari aku bertatap muka dengannya ingin aku sekali aku bilang sebaiknya dia memotong kemaluannya dan menjadi kasim --meski sepertinya kesempatan ini nggak akan pernah terjadi sih, karena satu-satunya yang kuingat cuma nama panggilan dan nama itu cukup pasaran. Aku lupa rumahnya di mana, siapa orang tuanya, dan aku bahkan lupa dia teman sekelasku di kelas berapa.

Tukang arsip di kepalaku kadang-kadang memang sangat menyebalkan. Pada hal yang aku sangat ingin disimpan, ia justru membakar semua memori itu tidak tersisa, dan pada hal-hal lain yang aku sangat ingin lupakan, diendapkannya potongan-potongan memori itu seperti ketika aku mengingatnya lagi, ada film dokumenter diputar di kepalaku.

Beberapa ingatan sangat mengganggu. Ingatan membuat kita menyalahkan masa lalu. Ingatan membuat kita bersedih atas sesuatu yang sudah terlewat. Ingatan membuat kita lupa pada apa yang sesungguhnya terjadi hari ini.

Namun, bukan tanpa sebab tukang arsip di kepalaku masih menyimpan semua itu. Barangkali melalui potongan-potongan ingatan itu, aku jadi diingatkan untuk selalu berhati-hati --karena semua hal yang buruk dan menyedihkan itu pernah terjadi. Ingatan memberiku kenangan tentang pedihnya kehilangan, sehingga ia menjadi pelajaran untuk lebih menghargai pada apa yang aku miliki pada saat ini.


Hal Kecil

small thing matters

Beberapa waktu lalu aku membuka 'tumpukan' email lama untuk mencari beberapa berkas. Secara tidak sengaja justru aku menemukan beberapa email yang mengawali semua perjalanan karierku hingga saat ini: melamar internship.

"Masa ya aku pernah ditolak intern Ruangguru!" kataku pada Angga.

"Aku juga pernah ditolak jadi Telemarketing di Ruangguru," jawabnya. Hahaha. Sontak aku tertawa. Pasalnya aku nggak ngebayangin gimana bentukan Angga melakukan pekerjaan telemarketing.. untuk Ruangguru pula.

Pada email-email yang lebih baru, aku menemukan surat pengunduran diriku dari kantor yang lama. Kira-kira setahun lalu aku menulisnya untuk manager, mentor, sekaligus teman ngobrol yang menyenangkan di kantor. Ada satu kalimat yang nggak tahu kenapa sangat menyentuhku di saat-saat seperti ini. Bunyinya kurang lebih, "Thank you for creating a climate that makes it a pleasure to work each morning and I think I will miss all of you in the team."

Untuk beberapa menit aku mulai merenungi apa hal-hal yang terjadi sejak hari pertama hingga 2,5 tahun kemudian kuhabiskan di sana.

***

Suatu hari di Jakarta sedang hujan badai. Aku tinggal di Setiabudi dan Angga masih tinggal di Pejaten; meski waktu itu dia udah kerja di Sudirman. Sejak sampai di kamar kosnya dia langsung meneleponku sebagai bagian dari rutinitas, dan nyerocos panjang-lebar tentang perjalanannya pulang kantor yang kurang menyenangkan --naik MRT sampai ke Cipete, tapi lalu nggak ada satupun ojek online yang mau mengambil pesanannya.

"Kenapa nggak naik mobil?"

"Mahal banget, beb!"

"Hmm iya juga sih."

Aku tahu dia sedang kesal, jadi daripada memperpanjang urusan dengan bahasan tukang ojek, aku pun mengalihkan dengan obrolan lain seperti, "Dulu waktu belum ada aku kalo jam segini dan kamu baru pulang gini ngapain?"

"Aku nggak pernah pulang jam segini kan aku belum kerja," jawabnya.

"Oh ya juga ya," kataku. Tapi tiba-tiba aku jadi berpikir soal diriku sendiri. Waktu aku belum punya Angga, kalau jam segini aku ngapain ya?

Sejak dulu aku lebih banyak suwungnya sih memang. Blogging, membaca buku, ngelamun di kedai kopi. Tapi apakah setiap hari? Hmm kenapa aku bisa benar-benar lupa ya.

***

Pada ingatan manusia yang sangat pendek, beberapa hal yang kita lihat kecil akan sangat mudah dilupakan. Manusia mengalami peristiwa, manusia mengingat, manusia mengalami peristiwa baru, lalu manusia melupakan ingatan lama dan menggantinya dengan ingatan baru. Seperti itu kurang lebih ilmu pengetahuan menjelaskan bagaimana otak kita didesain seperti lemari penyimpanan dengan tukang arsip yang bekerja siang-malam tanpa henti untuk memilih dan memilah mana arsip yang penting dan tidak penting untuk disimpan.

Sayangnya pada hampir semua hal kecil, tukang arsip kita selalu mengatakan itu tidak penting. Misalnya pada apa yang terjadi selama puluhan aplikasi internshipku ditolak, mengapa aku tetap kekeuh dan tidak merasa gentar atau sedih? Atau, apa yang terjadi di kantorku dulu, mengapa meski secara bersamaan aku harus bekerja fulltime, kuliah, dan mengerjakan project, aku masih bahagia-bahagia aja? Yang paling bikin aku heran adalah dulu sebelum Angga ada dan karenanya aku jadi punya beberapa rutinitas baru, apa yang biasa aku lakukan?

Kita sering lupa pada suatu hal yang kita pikirkan tidak terlalu penting atau bisa dibilang bukan hal-hal besar. Hal itu membuat kita sering abai pada banyak sekali hal yang mestinya bisa membuat senang, bisa disyukuri, bisa dijadikan sebagai alasan untuk tetap hidup dan merasa hidup kita berarti.


Dua Tipe

The Melancholy-Choleric

Ketika menonton ulang film Gie, tiba-tiba saya terpikir tentang sebuah pertanyaan mendasar mengapa ada orang yang secara natural ingin selalu melawan. Padahal jika dipikir-pikir, hidupnya mungkin nggak lebih susah dari banyak orang lainnya --yang toh lebih memilih untuk fine-fine aja daripada harus ribut.

Beberapa orang memilih untuk damai, tidak suka ribut, tidak suka berkelahi, menerima banyak hal dengan mengupayakan sebaik-baiknya; meski kadang hal tersebut pahit. 

"Nggak bisa," ujar saya suatu hari pada pacar. "Kamu terlalu lame. Masa nggak pernah berantem sama orang sih?"

Dalam benak saya, entah kenapa saya nggak terima aja mengetahui fakta bahwa pacar saya setenang itu. Dia tidak suka keributan, tidak suka membuat masalah, bahkan sejak kecil. "Ya buat apa?" katanya.

Saya sebenarnya juga tidak paham buat apa. Sejak kecil rasanya saya menghabiskan sebagian besar waktu saya untuk menantang dan menentang orang lain. Waktu SD saya pernah memukuli seorang kawan lelaki saya dengan gagang sapu karena menaruh tempat sampah di kepala saya. Saya marah habis-habisan mengetahui pekerjaan ujian saya dijadikan 'bahan contekan' untuk teman-teman saya yang bodoh ketika ujian SD. 

Saya ribut dengan pembimbing OSN ketika SMP karena saya keluar dari program bimbingan dan memilih menulis naskah drama untuk pentas kelas. Saya menentang orang tua yang memaksa saya ikut program 'olimpiade' ketika SMA. Saya menentang guru SMA yang memaksa saya menggunakan jilbab putih untuk seragam OSIS sampai akhirnya diseret ke ruang kepala sekolah dan dipaksa membuat surat pernyataan. Saya menantang dosen dengan ekspresi datar ketika diancam diberi nilai C. Saya menantang pegawai akademik dengan nekat 'cabut' satu semester dari kampus tanpa status cuti, dan masih banyak lagi.

Ternyata seumur hidup, saya jarang sekali hidup baik-baik saja tanpa masalah --yang ternyata setelah saya pikir-pikir diakibatkan karena ulah saya sendiri yang selalu ingin melawan.

"Menurutku, aku cuma membela diri," ujar saya suatu hari. 

***

Sebagai seorang lulusan psikologi, jika ada satu hal yang membuat saya selalu merasa gagal --selain gagal cumlaude, adalah juga gagal memahami diri sendiri.

Ada waktu di mana sepertinya saya adalah seorang sanguinis. Saya banyak teman dan disukai oleh society. Saya anak yang pintar, langganan juara 1, siswa teladan dengan segudang prestasi dari mulai lomba mengaji sampai cerdas-cermat.

Lalu tiba di mana suatu hari semua perkataan saya menjadi salah. Saya menjadi [tanpa sadar] melukai banyak orang dan berbondong-bondong setelah itu, mereka berkonsolidasi untuk membenci dan menjatuhkan saya. Bahkan ucapan untuk "jangan wudhu di sini" menjadi salah. Katanya, "Masa mau wudhu aja lho nggak boleh."

"Bukan nggak boleh, di sana airnya sedang mati. Kami semua perlu air untuk mandi dan lain-lain, kamu bisa ambil wudhu di tempat lain," jawab saya, tapi hanya dalam hati. Sebab pada orang yang sudah benci dan sakit hati, apa gunanya semua ucapan dan pembelaan? Toh di mata mereka saya akan tetap salah.

Sejak itu saya merasa saya tidak perlu memaksa orang menyukai saya. Kalau mereka tidak suka pada saya, saya tidak rugi. Pun jika mereka menyukai saya, tidak ada untungnya buat saya.

Saya menjadi sangat selektif dengan pertemanan, atau memilih menjadi lapisan demi lapisan untuk setiap orang yang saya temui. Ada orang yang mendapat bagian terluar dari diri saya, ada yang mendapat selapis lebih dalam, ada yang benar-benar sampai di inti --beberapa, dan kini bisa dihitung jari.

Awalnya saya pikir fase itu hanya sementara, namanya juga remaja. Tapi siapa sangka itu bertahan.. hingga kini dan sepertinya menjadi bagian dari personality saya sekarang --yang saya juga nggak ngerti harus gimana.

"Lu tipe C banget sih."

"Menurut gue lebih tipe D."

"Menurut gue dua-duanya."

***

The Melancholy-Choleric combination is driven by two temperament needs. The primary temperament need is to do things right. The secondary need is to get results. Either need may dominate behavior depending on the situation.

When the Melancholy and the Choleric natural tendencies are combined, it produces a detail-oriented person who pushes to get results. They have a strong drive to tell others what they know, and what to do.  This combination naturally likes to teach or train others what they know.

The Melancholy-Choleric is a systematic and precise thinker. They follow self-imposed, strict procedures in both their business and personal lives. The Melancholy-Choleric has a firm, serious expressions, and they rarely smile.

They not only want to do things right and get results, they strive to figure out what is right. The Melancholy-Choleric is, therefore, more pushy and blunt than the other Melancholy combinations. They can be abrasive and offensive when communicating with others. The Melancholy-Choleric is attentive to details and push to have things done correctly according to their standards. They have high standards for themselves and others. They can be a perfectionist about some things. They will resist change until the reasons are explained, defended, and accepted.

They are sensitive and conscientious. They can behave in a diplomatic manner, except when it comes to deviating from their standards. The Melancholy-Choleric can be too forceful in insisting the right way (or their way) be followed.

They are not socially active, preferring work and privacy to being with people. The Melancholy-Choleric may have some difficulty in relationships because they are not flexible, and they have a brief, direct, sometimes blunt manner of communication.

The Melancholy-Choleric tends to make decisions slowly because of their need to collect and analyze information (several times) until they are sure of the right and best course of action. The Melancholy-Choleric is not a frequently found combination.


Di Bali dan Bangkok pada Suatu Hari

source: unsplash.com

Di Bali, Setahun Setelah Hari Itu

Tadinya aku berpikir kedatanganku ke tempat ini akan disambut sedikit meriah. Bukan oleh siapa-siapa, cukup kenangan dan hal-hal lain yang tidak menyedihkan.

Paling tidak di kepalaku, ada beberapa hal yang mati-matian kuingat: adegan kesurupan di dalam mobil yang membawa rombongan, pesanan fast food pukul dua pagi, teman lelakimu yang ngotot merebus air untuk menghabiskan sisa gas di villa sebelum kita pindah tempat menginap, juga villa itu.. yang kita sewa di tengah hutan. Ah, apa namanya? Shit. Aku lupa bagian itu. Tapi sisanya aku hampir ingat semuanya.

Hari itu di ujung tempat tidurku, kamu menarik-narik selimut mencoba membangunkanku yang rasanya sudah tidak kuat membuka mata. “Ih ayo bangun. Apa gunanya sampai sini kalau cuma tidur?” ujarmu setengah berteriak. Tapi semakin kamu berteriak-teriak, aku semakin menggulung tubuhku di balik selimut.

“Ya kan tadi udah seharian bangun. Ini waktunya tidur. Udah lewat dini hari juga," kataku. Jujur aku tidak pernah paham energi apa yang kalian miliki untuk selalu aktif 24 jam. Kalaupun tidak bergerak, mulut kalian terus bergerak, bicara apa saja, menertawakan apapun.

“Nggak seru.”

“Udah tidur aja, Han. Mau sini?” Aku menawarkan tempat di sisiku tapi kamu malah melemparkan bantal karena kesal. Aku tersenyum sebelum akhirnya benar-benar pulas malam itu.

Sebenarnya sejak hari itu aku bertekad suatu hari nanti kita akan kembali ke sini berdua saja. Kita akan punya waktu lebih banyak berpelukan di kamar yang cantik ini sambil mendengarkan lagu-lagu indie kesukaanmu, lalu terlelap dalam dekapan satu sama lain. Terserah kamu mau bicara apa, aku akan selalu di sebelahmu untuk berkomentar seperlunya, mengangguk atau tertawa kadang-kadang.

Tentu semuanya kupikirkan jauh sebelum banyak hal terjadi pada kita —mengacaukan rencana yang telah kususun rapi dan matang— di kemudian hari.

Hhh.

Seandainya kamu —atau aku— sedikit lebih sabar, mungkin ceritanya tidak akan begini. Aku tidak tahu perasaan apa yang mengikatmu hingga sedemikian kamu ingin berontak. Bisa jadi kita berubah. Bisa jadi kamu. Bisa jadi aku.

“Sunscreen huh?”

Lamunanku pecah mendengar suara perempuan di depanku. Dengan tergagap aku menerima uluran botol kecil dari tangan perempuan itu. Sial. Bahkan pada adegan sepersekian menit ini, aku bisa ingat bagaimana kamu dulu selalu konsisten memaksaku menggunakan sunscreen setiap kali kita ke pantai.

“Bukan masalahnya hitamnya duh! Katanya pinter masa urusan kesehatan kulit aja mesti dijelaskan,” katamu.

“Iyaaaa. Pakein,” kataku sambil mengulurkan kedua tangan. Meski sedikit kesal, kamu toh masih sabar mengaplikasikan cairan lengket itu di kulitku. Selalu begitu sepanjang ingatanku mampu merekam bagaimana setelahnya kamu akan mengutuki air laut yang merusak rambut serta kulitmu.

Ada terlalu banyak hal yang bisa kuingat, seakan setiap butiran pasir di hamparan pantai ini menyimpan semua fragmen dan memori tentang apa saja yang pernah terjadi di antara kita —hal-hal yang membuatku gusar, sekaligus kadang sedih. Sebab sejauh apapun ingatanku mampu mengumpulkan semua kenangan yang pernah terjadi, waktu menghadapkanku pada kenyataan di saat ini ketika hal itu semua sebatas masa lalu dalam ingatanku.

Sungguh aku masih selalu berharap waktu akan mengulang banyak hal yang telah terjadi sembari memberiku kesempatan dan ruang-ruang untuk menurunkan sedikit saja ego sebagai laki-laki.

Di Bangkok, Tiga Tahun Setelah Hari Itu

Perjalanan pertamaku bulan ini dan entah kekuatan apa yang membuatku memutuskan pilihanku jatuh pada tempat ini. Sekuat tenaga aku menghalau apa yang telah terjadi pada kita sangat mempengaruhiku dalam mengambil keputusan, tetapi rasanya sia-sia.

Aku sedih, Han. Untuk pertama kalinya aku mengakui perasaan yang merundungku berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun ini.

Di Bangkok tidak ada yang spesial seperti yang selalu kamu katakan padaku setiap kali kita merencanakan bepergian ke sana. “Negaranya sama aja kayak di sini. Kenapa tidak sekalian ke Scotland atau Timur Tengah yang vibesnya totally beda?”

“Kamu nggak diizinin ke sana sama aku.”

“Ke mana aja nggak akan diizinin kalau kita cuma berdua.”

“Nggak usah minta izin kalau kamu udah jadi istriku.”

“Yee malu sama TA yang mulai aja belom.”

“Ih memangnya menikah harus menunggu TA-ku kelar gitu?”

“Iyalah. Kan kita mesti lulus dulu, kerja dulu, beres dulu urusannya sama diri-sendiri.”

“Bisa diurus sambil menikah sih itu."

“Nggaaak.”

Aku selalu tertawa melihat ekspresi wajahmu setiap kali kita membahas pernikahan. Rasanya saat itu lucu membayangkan kita sungguhan menikah. Dan lucu juga melihat bagaimana kamu mati-matian menolak setiap kali aku melontarkan ide bahwa sebaiknya kita menikah saja.

Aku sama sekali tidak berpikir bahwa hal-hal yang sedemikian lucu waktu itu, ternyata berubah menjadi momok yang menerorku. Apakah memang sejak dulu kamu tidak mencintaiku? Apa memang sejak saat itu, kamu tidak pernah yakin bahwa aku seserius itu ingin menikahimu?

Di Bangkok pikiranku tak tentu arah. Sejak kemarin aku hanya mengitari seisi kota dan mencoba apa saja yang terlihat memberikan rasa pada lidahku. Tapi aku sudah mati rasa, Han. Tidak peduli apakah ini di Bangkok atau di manapun.


Akan berlanjut —jika tidak malas menulisnya.